Seorang ulama dari ardhun mubarak, Palestina, pernah datang mengunjungi Indonesia. Tak banyak publikasi tentang kedatangannya. Dia, salah satu anggota Brigade Izzuddin Al Qassam. Sayap militer Hamas yang menggentarkan Zionis Israel. Bagiku, dia termasuk tokoh ulama yang mempunyai karakter khas yang jarang didapatkan di sejumlah tokoh Islam dari negara manapun. Seorang hafidzul qur`an yang lebih dari 15 tahun mengkhatamkan Al Qur`an minimal dalam satu bulan tiga kali. Seorang abid yang hampir setiap sepertiga malam terakhirnya, bangun lalu membaca al Qur`an di dalam shalat-shalat malamnya. Setidaknya, rata-rata, ia menghabiskan 25 sampai 30 menit setiap dua rakaat shalat malamnya. Dengan ayat-ayat Al Qur`an yang dihafalnya, ia membaca minimal 6 halaman dalam satu rakaat. Seorang syaikh ruhaniyat yang telah banyak menjalani kedisiplinan untuk memanfaatkan waktu. Ia yang kerap meminta diperiksa hafalan Al Qur`annya dalam hampir setiap perjalanan panjangnya selama di Indonesia, kepada orang-orang yang menemaninya. Dalam perjalanan dua hari bersamanya mengatakan, ia telah menyetorkan hafalan sebanyak 10 juz Al Qur`an dalam 2 hari. Itu dilakukan di sela-sela perjalanan, di mobil, bis, hingga pesawat dan penginapan. Ia yang sejak sekitar pukul 2.30 pagi, sudah terdengar sayup-sayup bacaan Al Qur`annya dari kamar penginapannya. Meski pada malam harinya ia harus menyampaikan muhadharah hingga pukul 11 malam.
Ia memang orang yang layak untuk menyampaikan pertanyaan yang menghentak hati. “Berapa penggalan waktu yang biasa Anda gunakan untuk membaca koran, melihat berita di TV, membincangkan masalah politik, liqaa-aat tarbawiyah (pertemuan kader)? Bandingkan dengan berapa penggalan waktu yang biasa Anda gunakan untuk membaca Al Qur`an dan qiyamul lail?” tanyanya perlahan. Tak ada jamaah yang menjawab pada saat itu. Semua hanya terkejut, berpikir dan merenung. Ia lalu melanjutkan, “Kalau Anda mendapati adanya ketidakseimbangan dalam pengaturan waktu dan aktifitas tersebut, ketahuilah bahwa itu merupakan pintu-pintu kegagalan kita di semua bidang. Bukan hanya dalam dakwah, tapi dalam politik, ekonomi, dan seluruh kehidupan kita.”
Pertanyaan dan penegasan itu, datang dari orang yang memang sudah menjalankan apa yang ia sampaikan selama bertahun-tahun. Membaca Al Qur`an dan menghidupkan malam, baginya merupakan indikator paling penting untuk keberhasilan perjuangan di medan apapun. Terlebih di medan dakwah. Karena keberhasilan, kemenangan, pertolongan dari Allah, selalu datang kepada orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah swt. Kepada orang-orang yang telah menjadi pilihan (ishtifaa) dari Allah swt karena keakraban dan keintimannya kepada Allah swt. Karena Al Qur`an dan menghidupkan malam, benar-benar menjadi karakter khusus Rasulullah dan generasi pertama yang dibinanya, hingga dakwah benar-benar tegak di berbagai belahan dunia.
Karena generasi awal Islam, terbina untuk senantiasa menghidupkan malam-malamnya dengan shalat. Karena surat Al Muzammil, yang termasuk kelompok surat pertama diturunkan, menegaskan, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu), dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tabattul (serius, tekun hanya untuk ibadah).” (QS. Al Muzzammil : 5-8). Karena Rasulullah saw pernah berpesan sangat tegas dan jelas, dalam sebuah hadits qudsi, “Barangsiapa yang disibukkan oleh Al Qur`an, maka Aku akan memberikan kepadanya lebih dari pada sesuatu yang diberikan kepada orang yang telah meminta.”
Mungkin saja. Dalil-dalil itu sudah sering kita baca dan dengar. Mungkin saja. Ayat dan hadits itu sudah pernah kita cermati dan kaji isinya. Tapi hingga kini, kita memang sangat sulit mendapatkan sosok orang yang bisa menjadi figur untuk diteladani dalam masalah itu. Atau, mungkin, kita tidak tahu karena kehidupan malam setiap orang dan para tokoh itu, umumnya tidak diketahui oleh orang banyak sehingga kita juga tidak mengetahuinya. Atau, mungkin juga, memang tak jarang orang yang bisa menerapkan kehidupan malam dalam beribadah, seperti yang ada dalam ayat dan hadits itu karena merasa isinya hanya layak diberikan kepada Rasulullah saw, bukan kita yang orang biasa-biasa saja.
Terasa sekali, kita membutuhkan figur hidup yang bisa kita saksikan langsung kehidupannya. Kita memang tidak jarang bertemu dan mendengarkan taujih dan nasihat dari para guru-guru kita. Tapi kita hampir tidak pernah mengetahui bagaimana mereka menjalani kehidupannya sehari-hari, atau lebih detail lagi, bagiamana kehidupan mereka di malam hari. Kita hanya sempat bertemu dan berdialog hanya pada saat para guru itu menyampaikan pelajaran dan nasihatnya secara lisan kepada kita. Tapi kita tidak mendapatkan sisi-sisi lain kehidupannya secara langsung. Kita sangat memerlukan sosok yang bisa langsung diraba sisi-sisi keistimewaannya dalam menjalani hari demi hari, dalam menyikapi berbagai problematika, dalam mengelola keluarga, dalam bekerja dan berbisnis dan sebagainya. Tidak hanya bertemu dalam ruang pemberian materi, tidak hanya mendengar ucapan-ucapan nasihat dan taujihnya, tidak hanya menerima kalimat-kalimatnya yang mungkin indah. Kita memerlukan praktiknya yang bisa kita rasakan langsung untuk menjadi figur. Tentu saja, tidak layak juga bila kita mengharapkan hadirnya sosok yang paripurna dalam berbagai kehidupan. Karena setiap orang pastilah saja ada kekurangannya. Tapi, kita memang sangat membutuhkan contoh, figur, tauladan langsung yang baik untuk ditiru.
Ulama dari Baitul Maqdis itu telah memberi inspirasi yang sangat terang untuk kita. Bahwa perjuangan benar-benar tidak selalu terpaku pada aspek angka dan analisa matematis. Bahwa jalan panjang dakwah, tidak boleh lebih terseret pada sisi kemanusiaan materil (Maaddiyyah), ketimbang sisi ke-Tuhanan (Rabbaniyah). Bahwa sebagai pelaku inti perjuangan dakwah, kita harus memiliki karakter qiyadah (kepemimpinan) yang khusus. Yang tidak sama dengan umumnya kaum Muslimin. Qiyadah yang diperlukan oleh ummat adalah qiyadah rabbaniyah. Kepemimpinan yang benar-benar jatuh karena pilihan Allah swt, sebagai buah kedekatan dan keintiman hubungan seseorang kepada Allah swt.
Tokoh yang menjalani hidup di tanah jihad itu menyampaikan kepada kita, tidak perlu menanti siapa orang yang bisa memiliki tingkat hubungan sedemikian dekat dengan Allah melalui Al Qur`an dan shalat malamnya. Karena jawaban itu layaknya dikembalikan kepada kita sendiri. Karena kita semuanya adalah qiyadah. Qiyadatul ummah (guru umat manusia). Karena kita adalah penyeru dakwah. “Qiyamul lail, qiyamul lail, qiyamul lail…” seperti itu yang ia sampaikan kepada kita, para pengusung dakwah yang kini harus memasuki fase yang lebih berat ketimbang sebelumnya.
Ikhwah sekalian,
Mari renungi lagi pertanyaan syaikhul jihad dari Palestina itu. Berapa penggalan waktu yang biasa kita gunakan untuk membaca koran, melihat berita di TV, membincangkan masalah politik, liqaa-aat tarbawiyah (pertemuan kader)? Bandingkan dengan berapa penggalan waktu yang biasa kita gunakan untuk membaca Al Qur`an dan qiyamul lail?
Mengapa kita hanya lebih banyak menantikan hadirnya qiyadah Rabbani (pemimpin Rabbani)? Tapi tidak berusaha mewujudkan harapan itu pada diri kita sendiri?
Minggu, 22 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar